Pencegahan Stockholm Syndrome
Sayangnya, tidak ada cara yang pasti untuk mencegah sindrom stockholm, mengingat kondisi ini berkembang sebagai respons terhadap trauma ekstrem, seperti penculikan atau kekerasan fisik dan mental.
Karena sindrom ini merupakan respons psikologis yang tidak dapat diprediksi, tindakan pencegahan cenderung sulit dilakukan.
Stockholm syndrome juga tidak terbatas hanya pada korban penculikan. Orang yang mengalami pelecehan fisik atau emosional dalam hubungan pribadi atau lingkungan kerja juga dapat mengembangkan perasaan serupa terhadap pelaku.
Menyadari atau memahami tanda-tanda awal dan mencari respon yang cepat terhadap trauma bisa membantu mengurangi risiko berkembangnya sindrom ini. Meski begitu, hal ini tidak sepenuhnya dapat dicegah.
Pembinaan Olahraga
Terlibat dalam olahraga adalah salah satu cara untuk membangun keterampilan dalam berelasi. Sayangnya, beberapa dari hubungan yang terbangun lewat pembinaan olahraga pada akhirnya berakhir negatif.
Teknik pelatihan yang keras bisa menjadi kasar. Atlet mungkin mengatakan pada diri sendiri bahwa perilaku pelatih mereka adalah untuk kebaikan mereka sendiri. Ini pada akhirnya dapat menjadi bentuk sindrom Stockholm.
Komplikasi Stockholm Syndrome
Jika tidak segera diatasi, korban sindrom ini berpotensi mengalami komplikasi emosional dan psikologis yang serius. Salah satu komplikasi utamanya adalah post-traumatic stress disorder (PTSD).
Nah, PTSD membuat korbannya mengalami kilas balik, mimpi buruk, dan kecemasan berlebih yang berkepanjangan. Selain itu, pengidap sindrom mungkin juga mengalami penurunan harga diri.
Rasa percaya diri mereka sering terkikis oleh trauma yang mereka alami, ditambah dengan kebingungan emosional terkait perasaan positif mereka terhadap pelaku.
Kondisi ini juga dapat menyebabkan masalah trust issue (kesulitan untuk mempercayai orang lain), di mana korban menjadi sangat skeptis atau waspada terhadap orang-orang di sekitar mereka.
Hal ini bisa menghambat kemampuan korban untuk membangun hubungan yang sehat dengan orang lain. Trauma yang tidak diobati juga dapat memengaruhi kesehatan mental korban dalam jangka panjang.
Akibatnya, korban berisiko mengalami depresi, kecemasan, dan isolasi sosial.
Kapan Harus ke Dokter?
Jika kamu atau orang terdekat mengalami situasi traumatis yang melibatkan kekerasan, penganiayaan, baik secara fisik maupun mental, kamu perlu segera melakukan pemeriksaan kesehatan ke profesional medis.
Informasi selengkapnya mengenai Sindrom Stockholm bisa kamu dapatkan dengan cara download aplikasi Halodoc melalui App Store atau Google Play.
Stockholm syndrome adalah kondisi ketika korban kejahatan justru memiliki rasa simpati dan kasih sayang terhadap penjahat yang menganiayanya. Hal ini dinilai sebagai respons psikologis korban untuk bertahan hidup atau mengatasi situasi yang ekstrem dan menakutkan.
Korban kriminalitas umumnya mengalami ketakutan dan teror, serta menyimpan rasa penghinaan atau permusuhan terhadap pelaku. Namun, pada orang dengan Stockholm syndrome, perasaan yang muncul malah sebaliknya. Pada titik tertentu, korban bahkan ingin melindungi pelaku kejahatan dan tidak ingin pelaku dihukum.
Istilah Stockholm syndrome berasal dari peristiwa penyanderaan dalam perampokan bank di Stockholm, Swedia, pada tahun 1973. Pada peristiwa tersebut, korban penyanderaan justru bersimpati kepada pelaku dan menolak untuk bersaksi di pengadilan. Korban bahkan sampai mengumpulkan dana untuk membela pelaku.
Selain penyanderaan, Stockholm syndrome juga dapat terjadi pada situasi lain, seperti pelecehan, kekerasan pada anak, kekerasan antara pelatih dan atlet, kekerasan dalam hubungan, dan perdagangan manusia.
Sindrom Stockholm dapat berkembang dalam jangka pendek maupun panjang, tergantung pada interaksi korban dengan pelaku.
Perasaan negatif terhadap figur otoritas
Korban sering mengembangkan ketidakpercayaan atau perasaan negatif terhadap pihak otoritas, seperti polisi atau pihak penegak hukum lainnya.
Hal ini terjadi karena korban melihat pihak otoritas sebagai ancaman bagi hubungannya dengan pelaku.
Faktor yang Mendasari Timbulnya Stockholm Syndrome
Dalam suatu penyanderaan, para sandera umumnya akan merasa benci dan takut karena pelaku atau penculik kerap berlaku kasar, bahkan kejam. Namun, dalam kasus Stockholm syndrome, hal yang terjadi justru sebaliknya. Para korban justru merasa simpati terhadap pelaku.
Ada beberapa faktor yang mendasari munculnya Stockholm syndrome, di antaranya:
Para psikolog menduga jika Stockholm syndrome merupakan cara korban untuk mengatasi stres atau trauma yang berlebihan akibat penyanderaan.
Meski begitu, penelitian menyebutkan bahwa Stockholm syndrome tidak hanya berlaku pada situasi penyanderaan, tetapi juga bisa terjadi pada situasi tertentu, seperti pelecehan anak, pelecehan antar pelatih dan atlet, hubungan abusive, dan perdagangan seks.
Cara Menangani Stockholm Syndrome
Tidak ada pengobatan khusus bagi penderita Stockholm syndrome. Namun, psikiater akan menggunakan beberapa metode yang biasa digunakan untuk mengatasi situasi traumatis, seperti peresepan obat antiansietas untuk mengatasi kecemasan yang dialami.
Selain itu, psikoterapi juga akan dilakukan untuk menangani Stockholm syndrome. Dalam psikoterapi, penderita akan diajarkan untuk mengatasi pengalaman traumatiknya.
Tujuan akhir dari semua penanganan Stockholm syndrome adalah untuk menyadarkan penderita bahwa yang mereka rasakan terhadap pelaku hanyalah metode pertahanan diri.
Stockholm syndrome merupakan kondisi tidak umum yang sering kali dirasakan oleh para korban penyanderaan. Bila Anda atau keluarga dan kerabat Anda ada yang mengalami gejala Stockholm syndrome, cobalah konsultasikan ke psikiater agar dapat diberikan penanganan yang tepat.
Konseling dan terapi
Pendekatan utama dalam mengobati stockholm syndrome adalah melalui konseling psikologis dengan psikiater atau psikolog.
Terapi kognitif-perilaku (CBT) juga dilakukan untuk membantu korban memahami dan mengatasi perasaannya terhadap pelaku. Terapi ini bertujuan untuk mengubah pola pikir dan perilaku negatif yang berkembang selama situasi traumatis.
Dalam beberapa kasus, korban mungkin juga diberikan obat-obatan tertentu untuk mengatasi gejala kecemasan, depresi, atau stres pasca-trauma.
Obat antidepresan dan obat anti-kecemasan dapat digunakan untuk membantu korban mengelola efek psikologis dari trauma.
Selain terapi formal, korban mungkin memerlukan dukungan dari kelompok sebaya atau keluarga. Dukungan sosial sangat penting untuk membantu korban memulihkan diri dari trauma dan kembali menjalani kehidupan yang normal.
Perawatan Penyalahgunaan Zat
Masalah penggunaan zat biasanya terjadi bersamaan dengan gangguan jiwa.
Jika terus dibiarkan, penyalahgunaan zat bisa mengganggu pengobatan dan memperburuk gejala yang dialami oleh pengidap.
Simpati terhadap pandangan pelaku
Korban bisa mulai membenarkan perilaku atau keyakinan pelaku, bahkan yang melibatkan kekerasan atau perilaku merugikan.
Mereka mungkin berpikir bahwa pelaku memiliki alasan yang sah untuk bertindak seperti itu, atau merasa bahwa pelaku sebenarnya adalah “korban” dari situasi yang lebih besar.